PASURUAN, Potret Lensa.com - Konflik tentang sewa Pasar Desa Wonosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, berbuntut panjang. BPD (Badan Permusyawaratan Desa Wonosari) melaporkan para pedagang yang menolak membayar sewa lapak pasar, ke Polres Pasuruan, Kamis (14/7/2022) siang.
Pelaporan tersebut dilayangkan karena persoalan itu tak kunjung selesai. Meski berulang kali mediasi, para pedagang tetap menolak membayar sewa. Ada yang berupa kios, bedak, meja atau lapak, dan ruko
Ketua BPD Wonosari Bambang Suhartono, mengungkapkan penolakan pedagang tersebut sehingga Desa Wonosari mengalami kerugian sampai Rp 20 miliar. Padahal selama ini pihak desa sudah menempuh cara persuasif untuk menagih retribusi ke pedagang.
Namun, pedagang tidak memberikan tanggapan yang baik dan berdalih sudah membayar retribusi rutin selain sudah membeli lapak-lapak di pasar itu.
"Ini adalah buntut dari perseteruan pihak desa dengan pedagang yang menempati pasar desa itu, Karena jalur musyawarah tidak pernah menemukan titik temu, kami mewakili masyarakat akhirnya membawa kasus ini ke ranah hukum," kata Bambang.
Bambang berharap, jalur hukum ini bisa memberikan titik terang untuk aset desa yang selama ini tidak pernah memberikan kontribusi untuk desa. "Kami ingin aset desa itu kembali ke desa dan pengelolaannya kembali ke desa. Karena untuk kepentingan pembangunan desa," bebernya.
"Pasar itu berdiri di tanah milik desa yang merupakan hibah. Dan secara legalitas ada buktinya. "Luasnya hampir 1 hektare," ungkapnya.
Direktur Pusat Studi dan Advokasi Kebijakan (PUSAKA) Lujeng Sudarto mengatakan, pihak desa sepakat menempuh jalur hukum, Pada prinsipnya desa ingin segera mengakhiri sengketa ini, dan pasar itu kembali dikelola oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat.
Lujeng menguraikan, pada awal tahun 1991, pemdes bekerja sama dengan investor PT Anggun Bhakti Perkasa asal Sidoarjo untuk membangun pasar desa tersebut. Setelah 20 tahun berjalan, pengelolaan pasar dikembalikan dan menjadi aset desa.
Dan sesuai perjanjian, hak sewa pedagang berakhir pada tahun 2011 sehingga sejak saat itu, semuanya menjadi aset desa. Pedagang bisa menempati kembali lapaknya dengan mengajukan permohonan sewa baru kepada pemdes.
"Karena perjanjian dengan pihak ketiga sudah selesai, maka semua bangunan dan hak pengelolaan kembali ke desa," imbuhnya.
Menurutnya, selama 10 tahun berjalan, para pedagang tidak mau mengajukan permohonan sewa baru. Hal ini terjadi karena para pedagang merasa membeli.
Ia menyebut, pedagang tidak ada kewenangan menguasai lapak mereka yang berada di tanah kas desa itu. Menurutnya, itu tetap menjadi aset desa.
"Ini sifatnya hanya hak guna bangunan dengan kewajiban bayar biaya sewa. Kami akan mengawal dan mendampingi pihak desa merebut kembali aset desa," urainya
Kanit Tipikor Satreskrim Polres Pasuruan, Ipda Bambang Sutejo mengaku sudah menerima aduan tentang sewa pasar desa tersebut. Sejauh ini, pihaknya masih perlu melakukan pendalaman. “Akan kami kaji seperti apa,” ujarnya.(tyo).