Pasuruan, Potretlensa.com - Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Donny Yoesgiantoro mengaku enggan berkomentar tentang revisi Undang-Undang Penyiaran yang disinyalir bakal menghapus jurnalistik investigasi.
Namun ia menegaskan bahwa kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Pers.
"Jadi begini memang kita masing-masing punya UU. Saya juga dengan Dewan Pers saya pernah satu panggung dengan ketua dewan pers, itu mengatakan bahwa wartawan tidak boleh dihalang-halangi," kata Donny dalam acara Media Briefing dan Diskuski Publik Forum IKIP 2024 yang digelar di Lumire Hotel dan Convention Center, Senen, Jakarta Pusat, pada Jumat sore (17/5).
Ia mengatakan, KIP menekankan pada keterbukaan akses informasi yang lebih baik di Indonesia.
Dirinya mencontohkan bagaimana hal ini sudah dilakukan di Kejaksaan Agung (Kejagung) di mana dahulu wartawan yang boleh meliput di lingkungan tersebut hanya wartawan Kejaksaan.
"Di Kejagung tadinya ada wartawan khusus untuk Kejagung. Sekarang dengan kapuspen, (wartawan Kejagung) dibubarkan, semua wartawan boleh (meliput). Kalau saya lebih ke arah jenis informasi, akses terhadap informasi," ujarnya.
Kendati begitu, Donny sekali lagi enggan mengomentari tentang UU lainnya. Sebab KIP pun, jelas dia, memiliki UU sendiri bernama Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Selain itu, dia menekankan bahwa KIP membutuhkan peran wartawan untuk perpanjangan tangan informasi terhadap publik.
Maka dari itu, menurutnya, badan publik juga membutuhkan peran pers.
"Kami juga katakan ke badan publik, 'Percuma kalian punya ketersediaan informasi tapi tidak bisa diakses. Bisa diakses oleh publik tapi kalau kalian tidak mendesiminasi informasi (bagaimana?)'," urai Donny.
Diberitakan sebelumnya, RUU Penyiaran dianggap bisa mengancam kebebasan pers karena didalamnya mengatur pelarangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Pelarangan itu ada dalam Pasal 50B ayat (2) draf RUU Penyiaran terbaru atau versi Maret 2024. Kemudian, pada Pasal 50B ayat (3) diatur mengenai sanksi apabila melanggar aturan pada ayat (2) tersebut, mulai dari teguran tertulis, pemindahan jam tayang, pengurangan durasi isi siaran dan konten bermasalah, penghentian sementara siaran, denda, hingga rekomendasi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
Tak hanya itu, pada Pasal 50B ayat (4) disebutkan bahwa pengisi siaran juga bisa dikenakan sanksi berupa teguran dan/atau pelarangan tampil.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid menegaskan bahwa dalam RUU Penyiaran, pihaknya tidak berniat untuk mengerdilkan insan pers.
"Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran pers. Hubungan selama ini dengan mitra Komisi I DPR, yaitu Dewan Pers sejak Prof Bagir, Prof Nuh dan Alm Prof Azyumardi adalah hubungan yang sinergis dan saling melengkapi, termasuk dalam lahirnya publisher rights," kata Meutya dalam keterangannya, Kamis (16/5/2024).(*red)