Jakarta, Potretlensa.com - Ombudsman mendorong pemerintah memastikan bantuan pangan beras untuk masyarakat miskin disalurkan hingga Desember 2025.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika mengungkapkan berdasarkan temuan Ombudsman, kenaikan harga beras yang terjadi belakangan ini bukan disebabkan oleh kekurangan stok, melainkan karena tata kelola perberasan yang tidak optimal.
"Untuk itu Ombudsman memberikan catatan kepada pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola perberasan nasional," kata Yeka dalam konferensi pers bertajuk Menjamin Hak Publik atas Beras Berkualitas dan Terjangkau, yang dipantau secara daring di Jakarta, (3/9).
Adapun Ombudsman memberikan catatan kepada pemerintah agar segera memperkuat operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dengan jaminan kualitas, mendorong Satgas Pangan mengevaluasi distribusi serta memberikan iklim usaha yang nyaman dan melibatkan pelaku usaha secara transparan.
Selain itu karena ada beberapa potensi kerugian negara, kata Yeka, maka sebaiknya Presiden Prabowo Subianto menugaskan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan evaluasi menyeluruh agar tata kelola pangan lebih akuntabel dan pembagian peran antar-instansi menjadi lebih jelas.
Ia menuturkan Ombudsman pun akan melakukan investigasi lebih lanjut terkait tata kelola cadangan beras pemerintah yang ada saat ini.
Sejak Agustus 2025, Ombudsman melakukan pemantauan di Karawang, Pasar Induk Beras Cipinang, 137 ritel tradisional di 25 provinsi, dan ritel modern di Jabodetabek.
Hasil pemantauan menunjukkan pasokan gabah ke penggilingan padi menurun, sementara dari 35 ritel modern yang dipantau di wilayah Jabodetabek, sebanyak delapan di antaranya tidak memiliki stok beras untuk dijual.
Dia menyebutkan harga beras premium tercatat mulai Rp14.700 per kilogram hingga Rp32.400 per kilogram, sedangkan beras non-premium dijual Rp21 ribu per kilogram hingga Rp37.500 per kilogram.
Ditambahkan bahwa beras operasi pasar SPHP tersedia di harga Rp12.500 per kilogram, namun kualitas dan mutunya kerap dikeluhkan masyarakat.
Yeka menyampaikan Ombudsman juga mencatat kondisi cadangan beras pemerintah yang mengkhawatirkan. Dari total stok Bulog sebanyak 3,9 juta ton, terdapat lebih dari 1,2 juta ton beras berumur lebih dari 6 bulan.
"Kondisi ini berpotensi menimbulkan disposal hingga 300 ribu ton dengan taksiran kasar kerugian negara sekitar Rp4 triliun," ungkap dia.
Selain itu, dia mengatakan realisasi penyaluran SPHP baru mencapai 302 ribu ton atau 20 persen dari target 1,5 juta ton, dengan rata-rata distribusi harian hanya 2.392 ton atau jauh di bawah kebutuhan harian sekitar 86.700 ton.
Dirinya turut menyoroti realisasi bantuan pangan beras yang baru mencapai 360 ribu ton atau sekitar 98,62 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2024.
Menurutnya, baik SPHP maupun bantuan pangan, belum mampu menekan harga beras yang secara umum masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Ombudsman menilai kondisi tersebut memperbesar biaya pengelolaan di Bulog, mulai dari pengadaan gabah kualitas apa pun, penyimpanan stok hingga 4 juta ton, serta penyaluran cadangan beras pemerintah yang rendah.
"Total taksiran kasar potensi kerugian negara akibat tata kelola perberasan tersebut diperkirakan mencapai Rp3 triliun," ucap Yeka menambahkan.
Dengan demikian, dia berpendapat kondisi tersebut membuka ruang terjadinya malaadministrasi, dengan potensi yang menonjol meliputi risiko disposal stok cadangan beras pemerintah, penyaluran SPHP yang tidak berkualitas, keterbatasan ketersediaan beras di ritel modern, harga beras yang tetap di atas HET, serta potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan cadangan beras pemerintah.
"Publik kini menghadapi situasi harga mahal, kualitas rendah, dan distribusi terbatas. Jika ini dibiarkan, akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pangan," ujarnya.
*Faz